February 28, 2009

past doesn't pas

February 26, 2009

bu Daya

Di perempatan kami liat bule perempuan, naek sepeda, cengengas-cengenges dengan PD nya menerobos lampu merah. Ga tahu ne bule dari mana, ga sempat nanya. Kami berdua tertawa sejadinya. Di otak kami memiliki pikiran yang sama. Asli...Konyol... Keanekaragaman budaya Nusantara memang menjadi salah satu daya tarik wisatawan mancanegara. Sampai budaya melanggar peraturanpun bisa dikenalkan, dicerna, dan diterapkan.

February 20, 2009

ARDATH

"Aku Rela Diperkosa Asal Tidak Hamil", kurang lebih seperti itu kalau pengertian dalam ejaan "gojek kere".

Dalam bukunya yang berjudul "Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki", Emha mencoba memaparkan tentang proses demokrasi yang terjadi di Indonesia. Dijelaskan bahwa penyebutan masyarakat diganti dengan kata "janda". Kenapa janda? apabila masyarakat adalah seorang istri, tentu pemimpin adalah suaminya.

5 tahun sekali masyarakat diperkosa dengan sebutan pesta demokrasi. Kenapa diperkosa? selain keanekaragaman suku dan budaya, manusia Indonesia memiliki keanekaragaman cara dalam mempromosikan diri dengan tujuan sama yaitu memiliki "badge" sebagai "wakil rakyat".

Apakah mungkin seorang pemimpin membungkukkan badan di hadapan seorang pemulung? seharusnya mungkin, pemulung memiliki hak contreng yang saat ini masih juga diperdebatkan keabsahannya dalam memilih pemimpinnya. Trus kenapa terdapat tulisan "pemulung dilarang masuk?" Sisi negative dari sikap pemulung inilah yang memunculkan ide tulisan tersebut, sehingga timbul wacana bahwa setiap pemulung adalah pencuri. Sebagai konstituen seharusnya kita bisa juga menorehkan sedikit tulisan didepan meja kerja para wakil rakyat, begini bunyinya "pencuri ulung dilarang masuk".

Entah pemimpin muda atau tua, kita sudah memiliki penerus bangsa dengan pendidikan yang bisa dibilang cukup tinggi. Bagaimana memilih pemimpin seharusnya seperti orang jawa bilang "memiliki bobot, bebet dan bibit yang baik". Kontinyuitas penjualan diri calon pemimpin yang tidak sedikit memakan biaya, saya harap tidak sekedar perang foto dan nama dengan slogan-slogannya.

Beban masyarakat sudah terlalu banyak, jadi apapun yang ditawarkan dalam proses sosialisasi hendaknya para calon pemimpin lapang dada, karena masyarakat memang kelaparan dan mau kenyang juga. Seandainya beban tersebut seperti kelebihan bebannya pada listrik yang akhirnya menimbulkan konsleting karena tidak sanggup menahan beban, bisa jadi akan lahir banyak "manusia konslet" yang memiliki ingatan pendek sehingga setiap saat harus diingatkan dengan perkenalan yang baru pula. Berulang dan terus terulang.

February 19, 2009

paranoid jalanan bernama dunia waktu ?

Mari berkelana. Pernahkan kita membayangkan kalau saja internet adalah benar-benar sebuah dunia, dalam hal ini berbentuk materi. Bayangkan menurut anda terserah bentuknya. Kotak, persegi, lonjong, bulat, segitiga, trapesium, atau apalah? Kurang kerjaan. Saya ijinkan untuk mengumpat saya sepuasnya.

Detik ini, dibelahan dunia lain adalah suka cita dan duka. Di Paris sepasang kekasih sedang bercumbu, di India seorang anak belajar pertama kali berjalan, di Palestina seorang ibu menangisi anaknya, di Amerika seorang nenek gantung diri, mungkin gak kesemuanya? Dan tadi seorang ibu membawa anaknya berangkat dari Jakarta dengan uang pas mencari suaminya di Jogja yang katanya sedang merantau dengan menjadi seorang pemulung. Kami hubungkan dengan beberapa kenalan sesuai dengan posisi sang suami, ternyata informasinya nihil. Kami cuman berpikir kalau suaminya "nekyan" dengan tekyan. Akhirnya diantar temen ke stasiun, dan barusan saya di telpon "Bro tadi, sisa uang dipakai untuk beli tiket kereta".

Apakah dunia (maksud saya bumi) selebar daun kelor? Kalau saya bisa bilang tidak, kalau anda? Sesuai dengan kata "terpisahkan". Dikampung halamanpun, terutama kota seberapa sering kita dapat bertemu dengan tetangga bahkan mungkin keluarga? Kita sudah diatur oleh waktu. Sekolah, bekerja, rekreasi, traveling, mabuk, judi, hiburan, dsb.

Konsep tersebut tentunya berbeda dengan kata "pertemuan". Bagaimana waktu mengatur agar proses kejadian untuk mempertemukan tersebut sehingga terlontar "dunia memang tak selebar daun kelor".

February 18, 2009

menunggu kata tunggu

aku adalah yang tidak pernah terjadi
aku tidak memilikiNya
tidak ingin kubebaskan diriku
terhadap kepemilikanNya atas diriku
di tengah labirin ruang waktu

aku adalah sempurna
janjiku terlahir ditengah pertemuan ruh dan ragaku
melalui pertalian persujudan batin
ditiupkan peringatan ketidaksempurnaanku

aku adalah pusara
hilang diriku masih menyisakan bekas
ketiadaan diriku adalah kosong
kuhapus cahaya rembulan
untuk mendapatkan cahayaMu

February 12, 2009

sejamannya jaman

Apakah tanda-tanda jaman edan, gila, susah, remuk atau sebutan lain yang tepat?
1. Apakah kebutuhan pokok melambung?
2. Apakah bbm turun naik?
3. Apakah pendidikan mahal?
4. Apakah biaya kesehatan mahal?
5. Apakah korupsi merajalela?

Mo "misuh-misuh", tak temenin; ASU, Bajingan, Dancuk, Shit, Fuck, Munyuk, Damput, dsb. Puaskan bibir kita, tapi struktur indra yang laen?

Kunci Jawaban (menurut saya..ya terserah saya)
1. Maaf tiap hari masih banyak orang bisa makan nasi, jagung, ketela, bakpia, nasi padang, gudeg, lumpia, pem-pek, junkfood, burger, kacang biar ga kesambet, dsb. Kalau saya mungkin memaksakan diri untuk masih bisa bersyukur, "Untung bisa utang" "Ya namanya juga prihatin" "Masih ada sisa kemarin".
2. Jogjakarta semakin padat. Jadi ga masalah.
3. Pendidikan murah, bayar instansinya yang mahal.
4. Dukun dadakan datang dan pergi.
5. Untung sekarang ada KPK (Karepe Piye? Kurang?). Moral dan etika no urut atau suara terbanyak terserah, karena belum diputusin MK (Menyiasati Korupsi).

100 Tahun yang lalu, 50 tahun yang lalu, 25 tahun yang lalu, 10 tahun yang lalu, 5 tahun yang lalu bisa dikatakan jaman edan. Kakek Buyut, Kakek, Bapak, kira-kira sudah berapa kali menyebutnya. Dan takkan pernah sama lafalnya.

February 6, 2009

ha he hi hu ho

Kira-kira terlalu naif jikalau hati saya terbesit :
"Mungkinkah Tuhan berkonsultasi denganku, sebelum menentukan matiku"
Karena saya bukan pula Syekh Siti Jenar, Emha Ainun Nadjib, Guru Zaini, Sunan Kali Jaga, Kakeknya Gus Dur, dan orang-orang yang telah berjalan dengan Nur Ilahi.

Tapi secara sederhananya, seperti acara kemarin di TBY, "Urip Ki Mung Mampir Ngguyu".